Jumat, 04 Juni 2010
TPI
Dusun Wawaran pernah melambung dan mengharumkan nama Kabupaten Pacitan serta Jawa Timur, ketika Kelompok Nelayan Mina Upadi menjadi juara lomba Optikapi (optimalisasi penangkapan) tingkat nasional pada tahun 2005. Penghargaan juara pun diserahkan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Atas prestasinya itu, kelompok nelayan yang berdiri tahun 1987 dan beranggotakan 65 nelayan tradisional tersebut mendapat hadiah perahu berukuran 25 Gross Tons (GT). Nelayan dusun Wawaran di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kebunagung itu sepakat merancang dan membuat sendiri perahu hadiah lomba. Jenis perahu disesuaikan dengan keinginan nelayan dan kondisi laut selatan, maka dipilihlah perahu dengan jaring gilnet. Di dusun terpencil itu memang ada warganya yang berprofesi membuat perahu, dari kayu dan fiberglas. Perahu made in Wawaran sudah banyak diproduksi dan dikenal luas di berbagai daerah.
Lokasi Dusun Wawaran berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia, panorama alamnya sangat menawan. Hamparan hutan bakau dan pohon nyiur di sepanjang pantainya, melengkapi eksotisme alam di teluk terpecil itu. Gelombang beriring menerjang karang setiap saat di salah satu sisi tebing terjalnya, melengkapi keindahan pantai Wawaran. Lautnya dalam berwarna biru, tidak jauh dari pinggir pantai tampak di bawah permukaan bongkahan batu karang yang timbul dan tenggelam dimainkan gelombang. Alur perairannya menjadi sempit sehingga perahu nelayan beresiko menabrak karang saat mereka pulang atau hendak melaut. “Kami sudah mengusulkan agar karang yang menghalangi alur dihancurkan. Tapi masih belum dikabulkan”, kata Pudjo, nelayan Wawaran. Untuk menghindari batu karang dan hempasan gelombang, warga dusun mensiasati dengan membentangkan seutas tali ratusan meter panjangnya. Tali yang melintang setinggi dua meter diatas permukaan air itu digunakan nelayan sebagai pengait agar perahu dapat bermanuver menghindari karang. Wawaran, hanyalah salah satu dari sedikitnya 12 lokasi pantai di Pacitan yang mempunyai keunikan, potensi wisata bahari dan layak menjadi Daerah Tujuan Wisata. (DTW).
Proyek Politis
Nelayan Wawaran seperti nelayan Pacitan umumnya tergolong nelayan one day fishing dan terbiasa mengoperasikan perahu 5 hingga10 GT. Wilayah operasinya berada di perairan pantai (in shore fishing). Hasil tangkapannya pun sebagian besar hanya untuk dikonsumsi sendiri, dan jika ada kelebihan baru dijual atau diolah secara tradisional. Walaupun mempunyai potensi tangkapan cukup besar, tetapi pemanfaatannya kurang dari 4 persen. Mereka terkendala kemampuan, skill dan modal. Jumlah nelayan di Pacitan tercatat sekitar 3000 orang, tersebar di tujuh kecamatan, masing-masing Donorejo, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung, Tulakan, Ngadirejo dan Sudimoro dengan produksi ikan sebesar 435 ribu ton per tahun.
Harapan untuk dapat meningkatkan hasil produksi, awalnya sempat membakar semangat nelayan Wawaran ketika pertama kali melaut. Dengan perahu berukuran lebih besar serta dilengkapi teknologi penangkapan, mereka berharap banyak. Tetapi harapan memperbaiki nasib itu, seolah tenggelam, kandas ditelan ganasnya ombak laut selatan. Perahu kebanggaan itu tidak mampu mengarungi Samudera Indonesia. Bukan karena kualitas perahunya yang buruk, tetapi lebih disebabkan ketebatasan SDM.
Nelayan Pacitan tidak menguasai teknologi dan tidak terbiasa menangkap ikan berminggu-minggu di laut lepas.
Setelah perahu dicoba berulangkali melaut, hasilnya tetap minim. Mina Upadi terus merugi, uang koperasi yang dikumpulkan susah payah, habis untuk membiayai operasional kapal. Nelayan Wawaran akhirnya menyerah, tidak mampu lagi membeli solar, umpan, es bahkan merawat perahu. Berita terakhir, perahu bermesin marine engine itu dioperasikan nelayan Cilacap, Jawa Tengah. Menurut Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pacitan, I Ketut Suwena, kemampuan nelayan Pacitan memang terbatas, belum mampu mengoperasikan perahu berukuran lebih besar.
Padahal tidak lama lagi Pemerintah Kabupaten Pacitan akan mempunyai gawe. Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Temperan di Kecamatan Kebonagung menurut rencana akan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun ini. Sejak dibangun tahun 2003 dan direncanakan selesai tahun 2008, PPI Temperan yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Wisata Teleng Ria sudah menghabiskan biaya Rp 28,8 miliar dari Rp 108,4 miliar yang direncanakan. Tahun ini APBN kembali mengucurkan dana Rp 36 miliar, dari provinsi Rp 3 miliar dan dari dana alokasi khusus (DAK) non reboisasi sebesar Rp 3, 4 miliar. Dana tersebut untuk memacu pekerjaan agar pelabuhan layak beroperasi dan siap diresmikan presiden asal Pacitan itu. Ironi nelayan Wawaran yang tidak mampu mengoperasikan perahu di laut lepas, adalah miniatur dari kondisi nelayan di Jawa Timur pada umumnya. Prioritas pembangunan kelautan dan perikanan selama ini belum berpihak kepada peningkatan SDM nelayan. Membangun infrastruktur seperti pelabuhan lebih diutamakan. Kepentingan politik dan berujung asal bapak senang (ABS) cenderung menjadi dasar pertimbangan. PPI Temperan akan mempunyai nilai tambah jika SDM nelayan juga ditingkatkan. Gedung TPI, kolam labuh, break water dan bangunan dermaga serta pompa bensin khsusus nelayan (SPDN) semoga saja tidak menjadi sebuah monumen, prasasti peninggalan Kabinet Indonesia Bersatu.
KULINER IN PACITAN
Dalam upaya menarik arus wisatawan ke Kabupaten Pacitan Jawa Timur, Hadi Sokotjo, salah satu pengusaha asal Pacitan mengangkat wisata kuliner dari daerahnya sebagai daya tarik yang khususnya. Tak tanggung-tanggung, wisata kuliner yang ditawarkan adalah Soto dan Kupat Tahu Pacitan. Selain ada di pasar, soto dan kupat tahu Pacitan juga ditampilkan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
Pacitan yang disebut sebagai Kabupaten "Seribu Goa", menurut Sukotjo, juga memiliki pantai indah yang berbentuk teluk. Daerah ini memang memiliki banyak gua yang menarik dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Namun berbagai tempat wisata itu kurang dikunjungi wisatawan karena kurangnya promosi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata maupun Pemerintah Kabupaten Pacitan.
Salah satu upaya untuk "menjual" objek wisata di Pacitan, dia mencoba mempromosikan daerahnya, yakni melalui wisata kuliner, yakni soto dan kupat tahu, makanan khas dari Pacitan. Dia lantas menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menggemari makanan ini. "Tidak jarang kalau lagi berada di Pacitan, kota kelahirannya, Pak Bambang sering mencari soto dan kupat tahu," katanya.
Sukotjo mengakui, di Jakarta, selama ini memang sudah banyak orang menjual soto dari daerah lain, misalnya soto Betawi, soto Kudus, soto Lamongan, Banjar, atau soto Makassar. Ada juga kupat tahu dari Magelang. Tapi soto dan kupat tahu dari Pacitan diyakini mampu bersaing dengan makanan sejenis dari daerah lain.
Itu sebabnya dia berani menampilkan wisata kuliner ini di hotel bintang lima, tepatnya di Grand Cafi Hotel Grand Hyatt Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat. "Ternyata tamu hotel banyak yang menyukai soto dan kupat tahu Pacitan. Banyak yang antre, bahkan pernah habis sebelum cafi tutup malam hari," ujarnya sambil menambahkan 3 orang koki sengaja didatangkan khusus dari Pacitan.
Hal ini juga dibenarkan oleh Manager Grand Cafi, Hadi Juwono. Meski baru pertama kali ditampilkan di kafe papan atas, ternyata masakan khas Pacitan itu mampu menyedot perhatian pengunjung untuk menikmatinya. "Bukan hanya orang kita, bule pun banyak yang menyantap soto dan kupat tahu Pacitan," ujarnya.
Dikatakan, masakan tradisional itu disediakan tak jauh dari masakan Barat dan Asean yang ada di cafi. Sejak Agustus ini pihak hotel memang secara rutin menyajikan masakah khas daerah secara bergantian. "Setelah soto dan kupat tahu Pacitan mungkin akan ada lontong Medan dan soto Banjar," ujarnya seraya menambahkan, penyajian masakan khas Pacitan berakhir 28 Agustus yang lalu.
Rabu, 02 Juni 2010
UPACARA CEPROTAN
Upacara adat Ceprotan yang sudah menjadi tradisi masyarakat Pacitan khususnya masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo selalu dilaksanakan tiap tahun pada bulan Dzulqaidah (Longkang), Hari Senin Kliwon. Acara ini dimaksudkan untuk mengenang pendahulu Desa Sekar yaitu Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun melalui kegiatan bersih desa. Upacara ini diyakini dapat menjauhkan desa tersebut dari bala dan memperlancar kegiatan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama bagi kebanyakan penduduknya. Lokasi upacara Ceprotan yaitu di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kota Pacitan, dan jaraknya kurang lebih 40 km ke arah barat dari pusat kota.
Upacara adat ini dimulai dengan pengarakkan kelapa muda yang digunakan sebagai alat “ceprotan” menuju tempat dilaksanakannya upacara yang biasanya berupa tanah lapang. Kelapa-kelapa ini ditempatkan pada keranjang bambu dengan anyaman yang jarang-jarang dan dibawa oleh pemuda setempat.
Sebelum acara dimulai, tetua adat membacakan doa-doa. Upacara dilanjutkan dengan ditampilkannya sendratari yang menceritakan antara pertemuan antara Ki Godeg dengan Dewi Sekartaji. Kemudian pemuda-pemuda ini dibagi menjadi dua kubu yang ditempatkan secara berseberangan. Keranjang berisi kelapa muda yang telah dikuliti dan direndam selama beberapa hari agar tempurungnya melunak, diletakkan di depan masing-masing anggota kubu yang telah berjajar dengan posisi menghadap ke arah kubu lawan. Antar kedua kubu ini diberi jarak beberapa meter sehingga mereka tidak berhadapan secara langsung dan di antara mereka diletakkan sebuah ingkung atau ayam utuh yang dipanggang.
Setelah semuanya siap, anggota dari kedua kubu mulai saling melempar kelapa muda yang berada di depan mereka. Setiap orang yang terkena lemparan hingga kelapa yang dilemparkan pada mereka pecah dan airnya membasahi tubuhnya dianggap sebagai orang yang kelak akan mendapatkan rezeki yang melimpah.
Ayam panggang yang diletakkan di tengah-tengah arena tidak diperebutkan melainkan disimpan untuk dimakan bersama-sama pada akhir acara. Setelah semua kelapa habis, kegiatan saling melempar kelapa yang dinamakan ceprotan ini diakhiri dengan pembacaan doa kembali.
Belakangan, dalam festival budaya yang digelar tiap tahun dalam rangka menyambut ulang tahun Kabupaten Pacitan, pada penutupan acara ceprotan ini juga dilakukan tarian-tarian singkat yang mengiringi kepergian pemuda-pemuda yang telah melakukan ceprotan.
Sendratari yang ditampilkan pada awal acara menceritakan tentang pertemuan antara Ki Godeg dengan Dewi Sekartaji. Menurut kepercayaan masyarakat Donorojo, Ki Godeng merupakan orang pertama yang membuka atau istilahnya “membabad” wilayah itu yang semula berupa hutan belantara. Ki Godeng merupakan nama lain dari Panji Asmorobangun, seseorang yang sakti mandraguna dari daerah Kediri. Karena keuletan dan keahlian dari Ki Godeg tersebut, wilayah yang semula berupa hutan belantara berhasil diubah menjadi lahan pertanian.
Suatu ketika, beliau bertemu dengan dua orang wanita yang sedang menempuh perjalanan. Kedua wanita tersebut sebenarnya adalah titisan dewi yaitu Dewi Sukonadi dan Dewi Sekartaji. Mereka beristirahat di wilayah yang telah dibabad Ki Godeng. Salah satu dari dewi tersebut yaitu Dewi Sekartaji merasa kehausan. Karena merasa kasihan, Ki Godeg menawarkan diri untuk mencarikan minuman bagi dewi tersebut.
Dewi Sekartaji kemudian meminta air kelapa muda untuk mengobati dahaganya. Sayangnya, di wilayah tersebut tidak terdapat pohon kelapa sama sekali. Namun demi mememenuhi permintaan dari Dewi Sekartaji, Ki Godeg melakukan matekaji atau menggunakan ilmunya untuk masuk ke dalam tanah guna mencari kelapa muda di tempat yang cukup jauh. Tempat dimana Ki Godeg masuk ke dalam tanah berubah menjadi sumber mata air, kemudian tempat beliau keluar dari tanah juga menjadi mata air yaitu di daerah Wirati, Kecamatan Kalak. Mata air tersebut dinamakan Kedung Timo. Setelah beliau menemukan pohon kelapa, Ki Godeg memanjat dan mengambil kelapa mudanya, lalu kembali lagi ke tempat semula dimana Dewi Sekartaji menunggu beliau. Tempat beliau keluar dari tanah saat kembali juga menjadi mata air. Dewi Sekartaji yang kehausan segera meminum air dari kelapa muda yang dibawakan oleh Ki Godeg.
Sisa dari air kelapa muda yang tidak habis diminum oleh Dewi Sekartaji ditumpahkannya di tempat dewi tersebut berdiri. Air kelapa yang menyentuh tanah seketika menjadi sumber air yang hingga sekarang dikenal sebagai Sumber Sekar. Dewi Sekartaji kemudian berpesan pada Ki Godeg, jika kelak tempat tersebut menjadi pemukiman agar dinamai Desa Sekar. Untuk pemuda yang ingin ngalap berkah untuk mencari sandang pangan, disuruhnya menggunakan cengkir yang dalam Bahasa Indonesia adalah kelapa muda. Hari terjadinya peristiwa tersebut adalah Senin Kliwon pada bulan Longkang atau Dzulqaidah.
Kelapa muda yang digunakan sebagai alat utama dalam upacara ini merupakan cengkir yang dimaksud oleh Dewi Sekartaji dalam legenda di atas. Makna simbolik dari cengkir ini terletak pada kepanjangan dari cengkir menurut orang Jawa yaitu ceng-cenge pikir. Jadi, merujuk dari pesan Dewi Sekartaji bahwa untuk pemuda yang ingin ngalap berkah untuk mencari sandang pangan, disuruhnya menggunakan cengkir atau ceng-cenge pikir artinya mengandalkan daya pikir atau otaknya.
Kemudian mengenai acara saling melempar kelapa muda, mengandung makna saling membantu dalam mencari rezeki dalam memenuhi kebutuhan hidupannya. Ayam bakar utuh (ingkung) yang berada di tengah arena upacara menyimbolkan rejeki yang harus di usahakan atau dicari oleh para pemuda
Selain nilai kebudayaan dan sejarah, upacara adat Ceprotan sekaligus legenda yang melatarbelakanginya sarat dengan nilai-nilai lain yang harus kita cermati dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama mengenai kegigihan Panji Asmorobangun atau yang dikenal sebagai Ki Godeg dalam usaha-usahanya membuka dan membangun suatu wilayah di Pacitan yang kini dikenal dengan nama Desa Sekar, Kabupaten Donorojo menjadi daerah pertanian. Daerah ini sebenarnya merupakan daerah yang tandus mengingat kandungan kapur dalam tanahnya yang cukup tinggi. Namun kini wilayah tersebut menjadi salah satu penghasil padi dan kelapa yang cukup diperhitungkan di Kabupaten Pacitan.
Kedua mengenai kebaikan hati beliau menolong orang yang kesusahan yaitu dalam legenda ini Dewi Sekartaji, serta pengorbanan yang dilakukannya. Kemudian mengenai pesan yang disampaikan oleh Dewi Sekartaji pada generasi muda yaitu untuk mengandalkan pikirannya dalam mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Pesan ini sangat perlu kita terapkan dalam kehidupan kita saat ini. Sudah seharusnya generasi muda membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan serta keterampilan agar dapat mencapai kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Nilai lainnya yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah mengenai ingkung yang di sediakan di tengah arena. Ingkung ini memang seolah menjadi sentral dari Upacara Ceprotan karena melambangkan rezeki yang dicari. Namun ingkung tersebut tidak diperebutkan. Hal ini menunjukkan bahwa kita memang harus berusaha optimal dalam meraih apa yang kita inginkan tetapi jangan sampai melanggar hak dan kepentingan orang lain.
Doa pada awal dan penutupan upacara juga memiliki nilai tersendiri, bahwa kita harus memulai dan mengakhiri setiap usaha-usaha yang kita lakukan dengan doa. Dengan doa yang melambangkan pengharapan dan kepasrahan kita terhadap Sang Pencipta, kita harus meyakini jika usaha yang kita lakukan sedah maksimal, Tuhan akan membalasnya dengan hasil memuaskan.
E. Prospek Nilai dalam Kehidupan Nasional
Nilai-nilai dalam Upacara Adat Ceprotan tersebut tentu memiliki prospek dalam kehidupan nasional. Pertama adalah masalah keyakinan kita terhadap Tuhan. Kegiatan doa pada awal dan penutupan upacara yang melambangkan pengharapan dan kepasrahan kita terhadap Sang Pencipta, mengingatkan bahwa kita harus memulai dan mengakhiri setiap usaha-usaha yang kita lakukan dengan doa.
Disadari atau tidak, masyarakat Indonesia yang terkena imbas globalisasi dan meningkatnya tekanan hidup terutama di bidang ekonomi, kebanyakan menjadi semakin sekuler. Mereka bersusah payah mengejar tujuannya namun lupa berdoa untuk meminta bantuan, rahmat, serta restu dari Sang Penguasa Alam. Saat mereka mendapatkan apa yang dicita-citakan, mereka lupa bersyukur pada Kekuatan Tak Terlihat yang menuntun dan memudahkan jalan mereka dalam proses pencapaian tersebut. Sedangkan jika mereka gagal, orang-orang tersebut akan menggerutu pada Tuhan. Mereka mengalihkan kekecewaannya dan mencoba menutupi kegagalan yang sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri dengan menyalahkan Penciptanya.
Selanjutnya mengenai sikap gemar menolong yang rupanya saat ini ikut menghilang dalam diri bangsa Indonesia bersama hilangnya butir-butir Pancasila dari bagian resmi lima sila tersebut dan dihapuskannya pembelajaran mengenai butir-butir Pancasila dalam kurikulum resmi pelajar. Manusia-manusia yang menjadi komponen bangsa ini tampaknya lebih senang saling menuding atas kerusakan-kerusakan serta kesulitan di berbagai sektor yang dialami oleh negara. Jika sikap saling menolong ini saja sudah langka, apalagi pengorbanan yang dibutuhkan untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik. Saat ini hal tersebut seperti sebuah fairy tale atau impian belaka.
Kemudian intisari dari upacara tersebut yaitu mengenai cengkir atau ceng-cengan pikir. Bangsa ini membutuhkan otak-otak yang siap diperas untuk memikirkan banyak hal demi terwujudnya solusi konkret demi terciptanya Indonesia yang lebih baik. Generasi muda yang menjadi fokus utama, harus giat menuntun ilmu pengetahuan, bukan hanya untuk formalitas, gelar, ataupun merencanakan masa depannya sebagai keryawan melainkan lebih dari itu yaitu untuk mewujudkan lapangan-lapangan kerja, inovasi-inovasi dan kreativitas tingkat tinggi yang diperlukan untuk mengangkat kesejahteraan, harkat, serta martabat bangsa ini.
Lalu mengenai ingkung yang telah disinggung beberapa kali. Detail kecil ini juga menyumbangkan nilai yang berprospek dalam kehidupan nasional. Kita diingatkan agar dalam usaha-usaha pencapaian tujuan, kita tidak boleh saling sikut. Fenomena negatif ini telah mewarnai berbagai aspek kehidupan sehari-hari di Indonesia. Mulai dari bidang politik, sosial, ekonomi, bahkan agama.
Secara utuh, upacara ini mengajak generasi penerus bangsa ini untuk menengok ke belakang, melihat dan meneladani apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita dan menerapkannya dalam kehidupan masa kini. Dimulai dari perilaku pribadi hingga sikap berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TIWUL KHAS PACITAN
Sambel trasi dengan lalapan daun kemangi, kemudian dicampur dengan lauk tempe goreng, dengan satu porsi nasi thiwul, uenak banget rasnya. siang itu, ketika sedang terik – teriknya di kampung halaman tidak ada hal yang mampu menandingi kenikmatan bersantap ria dengan nasi thiwul. Sebenarnya, nasi yang sudah jarang sekali dinuikmati oleh masyarakat Pacitan ini adalah merupakan maskan khas daerah pacitan sejak dulu. Namun, karena mungkin beberapa faktor, nasi thiwul kini sudah jarang dijumpai da daerah pacitan. Selain itu mungkin anggapan orang – orang tentang nasi Thiwul yang sering diasumsikan dengan makanan kampung, ndeso, dan makanan rakyat susah karena dahulunya beras mahal hanya orang kaya bisa makan nasi. Nasi Tiwul adalah hasil olahan dari tepung ubi kayu (cassava) melalui proses tradisional, yaitu tepung cassava ditambahkan air hingga basah dan dibentuk butiran-butiran yang seragam dengan ukuran sebesar biji kacang hijau dan dikukus selama 20-30 menit.
Tiwul adalah makanan pokok sebagai pengganti beras yang berasal dari singkong. Disaat musim kemarau, berbondong-bondong petani menanam singkong, hal ini dikarenakan tanah mereka sulit untuk mendapatkan air disaat musim tersebut. Daripada tanah dibiarkan kosong mlompong, lebih bermanfaat ketika mereka menanaminya dengan ketela. Setelah ketela dipanen, umur sekitar 60 sampai 90 hari, kulit ketela dikupas. setelah itu dikeringkan. Jadilah gaplek yang bisa disimpan sampai berbulan bulan. Para petani tidak akan khawatir jika kemarau panjang melanda selama mereka masih meyimpan gaplek dirumahnya. dari gaplek itulah dijadikan tiwul, makanan khas gunungkidul. Memang kandungan kalori tiwul masih tidak bisa menandingi beras, namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras.Konon nasi tiwul bisa mencegah penyakit maag,perut keroncongan dan lain sbg-nya. Cita rasa gaplek sangat khas dan unik.
Langganan:
Postingan (Atom)